Senin, 20 Juni 2011

Askep Afasia

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam berbahasa tercakup berbagai kemampuan yaitu, bicara spontan, komprehensi, menamai, repetisi ( mengulang), membaca dan menulis.
Bahasa merupakan instrument dasar bagi komunikasi pada manusia dan merupakan dasar dan tulang punggung bagi kemampuan kognitif. Bila terdapat defisit pada sistem berbahasa, penilaian faktor kognitif seperti memori verbal. Interpretasi pepatah dan berhitung lisan menjadi sulit dan mungkin tidak dapat dilakukan. Kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa sangat penting. Bila terdapat gangguan hal ini akan mengakibatkan hambatan yang berarti bagi pasien.
Gangguan berbahasa tidak mudah di deteksi dengan pemeriksaan yang tergesa-gesa. Pemeriksaan perlu meningkatkan pengetahuan menganai pola gangguan berbahasa.

B.     Rumusan masalah
-          Apa definisi dari Afasia ?
-          Sebutkan etiologi dari Afasia!
-          Bagaimana  masnifestasi klinis dari Afasia ?
-          Bagaimana penatalaksanaan untuk Afasia ?
-          Sebutkan pemeriksaan penunjang untuk Afasia!
-          Bagaimana WOC  untuk Afasia !
-          Bagaimana asuhan keperawatan untuk Afasia ?

C.    Tujuan
4  Mahasiswa dapat mengetahui definisi dari Afasia
4  Mahasiswa dapat mengetahui Etiologi dari Afasia
4  Mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinis dari Afasia
4  Mahasiswa dapat mengetahui Pemeriksaan penunjang untuk Afasia
4  Mahasiswa dapat mengetahui WOC untuk Afasia
4  Mahasiswa dapat mengetahui Asuhan Keperawatan untuk Afasia

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi
Afasia merupakan gangguan berbahasa. Dalam hal ini pasien menunjukkan gangguan dalam memproduksi dan / atau memahami bahasa. Defek dasar pada afasia ialah pada pemrosesan bahasa tingkat integratif yang lebih tinggi. Gangguan artikulasi dan praksis mungkin ada sebagai gejala yang  menyertai.
Afasia adalah gangguan berbahasa akibat gangguan serebrovaskuler hemisfer dominan, trauma kepala, atau proses penyakit. Terdapat beberapa tipe afasia, biasanya digolongkan sesuai lokasi lesi. Semua penderita afasia memperlihatkan keterbatasan dalam pemahaman, membaca, ekspresi verbal, dan menulis dalam derajat berbeda-beda.

B.     Etiologi
Afasia biasanya berarti hilangnya kemampuan berbahasa setelah kerusakan otak. Kata afasia perkembangan (sering disebut sebagai disfasia) digunakan bila anak mempunyai keterlambatan spesifik dalam memperoleh kemampuan berbahasa. Dalam hal ini, perkembangan kemampuan berbahasa yang tidak sebanding dengan perkembangan kognitif umumnya.
Strok, tumor di otak, cedera otak, demensi dan penyakit lainnya dapat mengakibatkan gangguan berbahasa.
 
Tabel Algoritma Klasifikasi Afasia Kortika

Kelancaran            Pemahaman                 Mengulang      Jenis Afasia
                              (Komprehensi)            (Repetisi)        


 





















C.    Manifestasi Klinis
Gejala dan Gambaran klinik Afasia
Afasia global. Afasia global ialah bentuk afasia yang paling berat. Koadaan ini ditandai oleh tidak adanya lagi bahasa spontan atau berkurang sekali dan menjadi beberapa patah kata yang diucapkan secara stereotip (itu-itu saja, berulang), misalnya : "iiya, iiya, iiya", atau: "baaah, baaaah, baaaaah" atau: "amaaang, amaaang, amaaang". Komprehensi menghilang atau sangat terbatas, misalnya hanya mengenal namanya saja atau satu atau dua patah kata. Repetisi (mengulangi) juga sama berat gangguannya seperti bicara spontan. Membaca dan menulis juga terganggu berat.
Afasia global disebabkan oleh lesi luas yang merusak sebagian besar atau semua daerah bahasa. Penyebab lesi yang paling sering ialah oklusi arteri karotis interna atau arteri serebri media pada pangkalnya. Kemungkinan   pulih   ialah    buruk.   Afasia   global   hampir   selalu   disertai hemiparese atau hemiplegia yang menyebabkan invaliditas khronis yang parah.
Afasia Broca. Bentuk afasia ini sering kita lihat di klinik dan ditandai oleh bicara yang tidak lancar, dan disartria, serta tampak melakukan upaya bila berbicara. Pasien sering atau paling banyak mengucapkan kata-benda dan kata-kerja. Bicaranya bergaya telegram atau tanpa tata-bahasa (tanpa grammar). Contoh: "Saya....sembuh....rumah....kontrol....ya..kon..trol." "Periksa...lagi...makan... banyak.."
Mengulang (repetisi) dan membaca kuat-kuat sama terganggunya seperti berbicara spontan. Pemahaman auditif dan pemahaman membaca tampaknya tidak terganggu, namun pemahaman kalimat dengan tatabahasa yang kompleks sering terganggu (misalnya memahami kalimat: "Seandainya anda berupaya untuk tidak gagal, bagaimana rencana anda untuk maksud ini").
Ciri klinik afasia Broca:
  • bicara tidak lancar
  • tampak sulit memulai bicara
  • kalimatnya pendek (5 kata atau kurang per kalimat)
  • pengulangan (repetisi) buruk
  • kemampuan menamai buruk
  • Kesalahan parafasia
  • Pemahaman lumayan (namun mengalami kesulitan memahami kalimat
    yang sintaktis kompleks)
  • Gramatika bahasa kurang, tidak kompleks
  • Irama kalimat dan irama bicara terganggu
Menamai (naming) dapat menunjukkan jawaban yang parafasik. Lesi yang menyebabkan afasia Broca mencakup daerah Brodmann 44 dan sekitarnya. Lesi yang mengakibatkan afasia Broca biasanya melibatkan operkulum frontal (area Brodmann 45 dan 44) dan massa alba frontal dalam (tidak melibatkan korteks motorik bawah dan massa alba paraventrikular tengah). Selain itu, ada pasien dengan lesi dikorteks peri-rolandik, terutama daerah Brodmann 4; ada pula yang terganggu di daerah peri-rolandik dengan kerusakan massa alba yang ekstensif.
Ada pakar yang menyatakan bahwa bila kerusakan terjadi hanya di area Broca di korteks, tanpa melibatkan jaringan di sekitarnya, maka tidak akan terjadi afasia.
Penderita afasia Broca sering mengalami perubahan emosional. seperti  frustasi  dan  depresi.  Apakah  hal   ini  disebabkan  oleh  gangguan berbahasanya atau merupakan gejala yang menyertai lesi di lobus frontal kiri belum dapat dipastikan.
Pemulihan terhadap berbahasa (prognosis) umumnya lebih baik daripada afasia global. Karena pemahaman relatif baik, pasien dapat lebih baik beradaptasi dengan keadaannya.
Afasia Wernicke. Pada kelainan ini pemahaman bahasa terganggu. Di klinik, pasien afasia Wernicke ditandai oleh ketidakmampuan memahami bahasa lisan, dan bila ia menjawab iapun tidak mampu mengetahui apakah jawabannya salah. la tidak mampu memahami kata yahg diucapkannya, dan tidak mampu mengetahui kata yang diucapkannya, apakah benar atau salah. Maka terjadilah kalimat yang isinya kosong, berisi parafasia, dan neologisme. Misalnya menjawab pertanyaan: Bagaimana keadaan ibu sekarang ? Pasien mungkin menjawab: "Anal saya lalu sana sakit tanding tak berabir".
Pengulangan (repetisi) terganggu berat. Menamai {naming) umumnya parafasik. Membaca dan menulis juga terganggu berat.

Gambaran klinik afasia Wernicke:
  • Keluaran afasik yang lancar
  • Panjang kalimat normal
  • Artikulasi baik
  • Prosodi baik
  • Anomia (tidak dapat menamai)
  • Parafasia fonemik dan semantik
  • Komprehensi auditif dan membaca buruk
  • Repetisi terganggu
  • Menulis lancar tapi isinya "kosong"
Penderita afasia jenis Wernicke ada yang menderita hemiparese, ada pula yang tidak. Penderita yang tanpa hemiparese, karena kelainannya hanya atau terutama pada berbahasa, yaitu bicara yang kacau disertai banyak parafasia, dan neologisme, bisa-bisa disangka menderita psikosis.
Lesi yang menyebabkan afasia jenis Wernicke terletak di daerah bahasa bagian posterior. Semakin berat defek dalam komprehensi auditif, semakin besar kemungkinan lesi mencakup bagian posterior dari girus temporal superior. Bila pemahaman kata tunggal terpelihara, namun kata kompleks terganggu, lesi cenderung mengenai daerah lobus parietal, ketimbang lobus temporal superior. Afasia jenis Wernicke dapat juga dijumpai pada lesi subkortikal yang merusak isthmus temporal memblokir signal aferen inferior ke korteks temporal.
Penderita dengan defisit komprehensi yang berat, pronosis penyembuhannya buruk, walaupun diberikan terapi bicara yang intensif. Afasia konduksi. Ini merupakan gangguan berbahasa yang lancar (fluent) yang ditandai oleh gangguan yang berat pada repetisi, kesulitan dalam membaca kuat-kuat (namun pemahaman dalam membaca baik), gangguan dalam menulis, parafasia yang jelas, namun umumnya pemahaman bahasa lisan terpelihara. Anomianya berat.
Terputusnya hubungan antara area Wernicke dan Broca diduga menyebabkan manifestasi klinik kelainan ini. Terlibatnya girus supramarginal diimplikasikan pada beberapa pasien. Sering lesi ada di massa alba subkortikal - dalam di korteks parietal inferior, dan mengenai fasikulus arkuatus yang menghubungkan korteks temporal dan frontal.
Afasia transkortikal. Afasia transkortikal ditandai oleh repetisi bahasa lisan yang baik (terpelihara), namun fungsi bahasa lainnya terganggu. Ada pasien yang mengalami kesulitan dalam memproduksi bahasa, namun komprehensinya lumayan.
Ada pula pasien yang produksi bahasanya lancar, namun komprehensinya buruk. Pasien dengan afasia motorik transkortikal mampu mengulang (repetisi), memahami dan membaca, namun dalam bicara -spontan terbatas, seperti pasien dengan afasia Broca. Sebaliknya, pasien dengan afasia sensorik transkortikal dapat mengulang (repetisi) dengan baik, namun tidak memahami apa yang didengarnya atau yang diulanginya. Bicara spontannya dan menamai lancar, tetapi parafasik seperti afasia jenis Wernicke. Sesekali ada pasien yang menderita kombinasi dari afasia transkortikal motorik dan sensorik. Pasien ini mampu mengulangi kalimat yang panjang, juga dalam bahasa asing, dengan tepat. Mudah mencetuskan repetisi pada pasien ini, dan mereka cenderung menjadi ekholalia (mengulang apa yang didengarnya).
Gambaran klinik afasia sensorik transkortikal:
  • Keluaran (output) lancar (fluent)
  • Pemahaman buruk
  • Repetisi baik
  • Ekholalia
  • Komprehensi auditif dan membaca terganggu
  • Defisit motorik dan sensorik jarang dijumpai
  • Didapatkan defisit lapangan pandang di sebelah kanan.
Gambaran klinik afasia motorik transkortikal:
  • Keluaran tidak lancar (non fluent)
  • Pemahaman (komprehensi) baik
  • Repetisi baik
  • Inisiasi ot/fpunerlambat
  • Ungkapan-ungkapan singkat
  • Parafasia semantik
  • Ekholalia
Gambaran klinik afasia transkortikal campuran:
  • Tidak lancar (nonfluent)
  • Komprehensi buruk
  • Repetisi baik
  • Ekholalia mencolok

Afasia transkortikal disebabkan oleh lesi yang luas, berupa infark berbentuk bulan sabit, di dalam zona perbatasan antara pembuluh darah serebral mayor (misalnya di lobus frontal antara daerah arteri serebri anterior dan media). Afasia transkortikal motorik terlihat pada lesi di perbatasan anterior yang menyerupai huruf C terbalik (gambar 9-1). Lesi ini tidak mengenai atau tidak melibatkan korteks temporal superior dan frontal inferior (area 22 dan 44 dan lingkungan sekitar) dan korteks peri sylvian parietal. Korteks peri sylvian yang utuh ini dibutuhkan untuk kemampuan mengulang yang baik.

Penyebab yang paling sering dari afasia transkortikal ialah:
  • Anoksia sekunder terhadap sirkulasi darah yang menurun, seperti yang
    dijumpai pada henti-jantung (cardiac arrest).
  • Oklusi atau stenosis berat arteri karotis.
  • Anoksia oleh keracunan karbon monoksida.
  • Demensia.
Afasia anomik. Ada pasien afasia yang defek berbahasanya berupa kesulitan dalam menemukan kata dan tidak mampu menamai benda yang dihadapkan kepadanya. Keadaan ini disebut sebagai afasia anomik, nominal atau amnestik. Berbicara spontan biasanya lancar dan kaya dengan gramatika, namun sering tertegun mencari kata dan terdapat parafasia mengenai nama objek.

Gambaran klinik alasia anomik:
  • Keluaran lancar
  • Komprehensi baik
  • Repetisi baik
  • Gangguan (defisit) dalam menemukan kata.
Banyak tempat lesi di hemisfer dominan yang dapat menyebabkan afasia anomik, dengan demikian nilai lokalisasi jenis afasia ini terbatas. Anomia dapat demikian ringannya sehingga hampir tidak terdeteksi pada percakapan biasa atau dapat pula demikian beratnya sehingga keluaran spontan tidak lancar dan isinya kosong. Prognosis untuk penyembuhan bergantung kepada beratnya defek inisial. Karena output bahasa relatif terpelihara dan komprehensi lumayan utuh, pasien demikian dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik daripada jenis afasia lain yang lebih berat.
Afasia dapat juga terjadi oleh lesi subkortikal, bukan oleh lesi kortikal saja. Lesi di talamus, putamen-kaudatus, atau di kapsula interna, misalnya oleh perdarahan atau infark, dapat menyebabkan afasia anomik. Mekanisme terjadinya afasia dalam hal ini belum jelas, mungkin antara lain oleh berubahnya input ke serta fungsi korteks di sekitarnya.

  Beberapa bentuk afasia mayor
Bentuk Afasia
Ekspresi
Komprehensi verbal
Repetisi
Menamai
Komprehensi membaca
Menulis
Lesi
Ekspresi (Broca)
Tak lancar
Relatif terpelihara
Terganggu
Terganggu
Bervariasi
Terganggu
Frontal Inferior posterior
Reseptif
(Wermicke)
Lancar
Terganggu
Terganggu
Terganggu
Terganggu
Terganggu
Temporal Superior Posterior (Area Wernicke)
Global
Tak lancar
Terganggu
Terganggu
Terganggu
Terganggu
Terganggu
Fronto temporal
Konduksi
Lancar
Relatif terpelihara
Terganggu
Terganggu
Bervariasi
Terganggu
Fasikulus arkualtus, girus supramarginal
Nominal
Lancar
Relatif terpelihara
Terpelihara
Terganggu
Bervariasi
Bervariasi
Girus angular, temporal superior posterior
Transkortikal motor
Tak lancar
Relatif terpelihara
Terpelihara
Terganggu
Bervariasi
Terganggu
Peri sylvian anterior
Transkortikal sensorik
Lancar
Terganggu
Terpelihara
Terganggu
Terganggu
Terganggu
PerisylvianPosterior

D.    Penatalaksanaan Medis
DASAR-DASAR REHABIL1TASI
Bina wicara (speech therapy) pada afasia didasarkan pada :
  1. Dimulai seawal mungkin. Segera diberikan bila keadaan umum pasien sudah memungkinkan pada fase akut penyakitnya.
  2. Dikatakan bahwa bina wicara yang diberikan pada bulan
    pertama sejak mula sakit mempunyai hasil yang paling baik.
  3. Hindarkan penggunaan komunikasi non-linguistik (seperti isyarat).
  4. Program terapi yang dibuat oieh terapis sangat individual dan tergantung dari latar belakang pendidikan, status sosial dan kebiasaan pasien.
  5. Program terapi berlandaskan pada penurnbuhan motivasi pasien untuk mau belajar (re-learning) bahasanya yang hilang. Memberikan stimulasi supaya pasien metnberikan tanggapan verbal. Stimuli dapat berupa verbal, tulisan atau pun taktil. Materi yang teiah dikuasai pasien perlu diulang-ulang(repetisi).
  6. Terapi dapat diberikan secara pribadi dan diseling dengan terapi kelompok dengan pasien afasi yang lain.
  7. Penyertaan keluarga dalam terapi sangat mutlak.

E.     Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan kelancaran berbicara. Seseorang disebut berbicara , lancar bila bicara spontannya lancar, tanpa tertegun-tegun untuk mencari Kata yang diinginkan. Kelancaran berbicara verbal merupakan refleksi dari efisiensi menemukan kata. Bila kemampuan ini diperiksa secara khusus ilnpat dideteksi masalah berbahasa yang ringan pada lesi otak yang ringan iiImii pada demensia dini. Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes knlnncaran, menemukan kata yaitu jumlah kata tertentu yang dapat dlproduksi selama jangka waktu yang terbatas. Misalnya menyebutkan sebanyak-banyaknya nama jenis hewan selama jangka waktu satu menit, ulnu menyebutkan kata-kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya huruf S atau huruf B dalam satu menit.
Menyebutkan nama hewan : Pasien disuruh menyebutkan sebanyak mungkin nama hewan dalam waktu 60 detik. Kita catat jumlahnya serta kesalahan yang ada, misalnya parafasia. Skor : Orang normal umumnya mampu menyebutkan 18 - 20 nama hewan selama 60 detik, dengan variasi I    5 - 7.
Usia merupakan faktor yang berpengaruh secara bermakna dalam tugas ini. Orang normal yang berusia di bawah 69 tahun akan mampu menyebutkan 20 nama hewan dengan simpang baku 4,5.
Kemampuan ini menurun menjadi 17 (+ 2,8) pada usia 70-an, dan menjadi 15,5 (± 4,8) pada usia 80-an. Bila skor kurang dari 13 pada orang normal di bawah usia 70 tahun, perlu dicurigai adanya gangguan dalam kelancaran berbicara verbal. Skor yang dibawah 10 pada usia dibawah 80 tahun, sugestif bagi masalah penemuan kata. Pada usia 85 tahun skor 10 mungkin merupakan batas normal bawah.
Menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu: Kepada pasien dapat juga diberikan tugas menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya huruf S, A atau P. Tidak termasuk nama orang atau nama kota. Skor: Orang normal umumnya dapat menyebutkan sebanyak 36 - 60 kata, tergantung pada usia, inteligensi dan tingkat pendidikan. Kemampuan yang hanya sampai 12 kata atau kurang untuk tiap huruf di atas merupakan petunjuk adanya penurunan kelancaran berbicara verbal. Namun kita harus hati-hati  monginterpretasi tes ini  pada  pasien dengan  tingkat   pendidikan  tidak melebihi tingkat Sekolah Menengah Pertama.

Pemeriksaan pemahaman (komprehensi) bahasa lisan
Kemampuan pasien yang afasia untuk memahami sering sulit dlnllal Pemeriksaan klinis disisi-ranjang dan tes yang baku cenderung kurang cukup dan dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Langkah terakhir dapat digunakan untuk mengevaluasi pemahaman (komprehensi) secara klinis, yaitu dengan cara konversasi, suruhan, pilihan (ya atau tidak), dan menunjuk.
Konversasi. Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat dinilai kemampuannya memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan oleh pemeriksa.
Suruhan. Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (Satu langkah) sampai pada yang sulit (banyak langkah) dapat digunakan untuk menilai kemampuan pasien memahami. Mula-mula suruh pasien bertepuk tangan, kemudian tingkatkan kesulitannya, misalnya: mengambil pinsil, letakkan di kotak dan taruh kotak di atas kursi (suruhan ini dapat gagal pada pasien dengan apraksia dan gangguan motorik, walaupun pemahamannya baik;   hal  ini  harus diperhatikan oleh pemeriksa).
Pemeriksa dapat pula mengeluarkan beberapa benda, misalnya kunci, duit, arloji, vulpen, geretan. Suruh pasien menunjukkan salah sntu benda tersebut, misalnya arloji. Kemudian suruhan dapat dlpermilit, misalnya: tunjukkan jendela, setelah itu arloji, kemudian vulpen. Pasion tanpa afasia dengan tingkat inteligensi yang rata-rata mampu menunjukkan 4 atau lebih objek pada suruhan yang beruntun. Pasien dengan Afasia mungkin hanya mampu menunjuk sampai 1 atau 2 objek saja. Jadi, pada pemeriksaan ini pemeriksa (dokter) menambah jumlah objek yang hams ditunjuk, sampai jumlah berapa  pasien selalu gagal.
Ya atau tidak.   Kepada pasien dapat juga diberikan tugas berbentuk pertanyaan yang dijawab dengan "ya" atau "tidak". Mengingat kemungkinan salah    ialah    50%,   jumlah    pertanyaan    harus    banyak,    paling   sedikit 6 pertanyaan, misalnya   :
"Andakah yang bernama Santoso?"
"Apakah AC dalam ruangan ini mati ?"
"Apakah ruangan ini kamar di hotel ?"
"Apakah diluar sedang hujan?"
"Apakah saat ini malam hari?"
Menunjuk. Kita mulai dengan suruhan yang mudah difahami dan kemudian meningkat pada yang lebih sulit. Misalnya: "tunjukkan lampu", kemudian "tunjukkan gelas yang ada disamping televisi".
Pemeriksaan sederhana ini, yang dapat dilakukan di sisi-ranjang, kurang mampu menilai kemampuan pemahaman dengan baik sekali, namun dapat memberikan gambaran kasar mengenai gangguan serta beratnya. Korelasi anatomis dengan komprehensi adalah kompleks.

Pemeriksaan repetisi (mengulang)
Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang, mula-mula kata yang sederhana (satu patah kata), kemudian ditingkatkan menjadi banyak (satu kalimat). Jadi, kita ucapkan kata atau angka, dan kemudian pasien disuruh mengulanginya.
Cara pemeriksaan
Pasien disuruh mengulang apa yang diucapkan oleh pemeriksa. Mula-mula sederhana kemudian lebih sulit.  Contoh:
  • Map
  • Bola
  • Kereta
  • Rumah Sakit
  • Sungai Barito
  • Lapangan Latihan
  • Kereta api malam
  • Besok aku pergi dinas
  • Rumah ini selalu rapi
  • Sukur anak itu naik kelas
  • Seandainya si Amat tidak kena influensa
Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini didapatkan parafasia, salah tatabahasa, kelupaan dan penambahan.
Orang normal umumnya mampu mengulang kalimat yang mengandung 19 suku-kata.
Banyak pasien afasia yang mengalami kesulitan dalam mengulang (repetisi), namun ada juga yang menunjukkan kemampuan yang baik dalam hal mengulang, dan sering lebih baik daripada berbicara spontan.
Umumnya dapat dikatakan bahwa pasien afasia dengan gangguan kemampuan  mengulang  mempunyai  kelainan  patologis  yang   melibatkan daerah peri-sylvian. Bila kemampuan mengulang terpelihara, maka daerah -sylvian bebas dari kelainan patologis.
Umumnya  daerah   ekstra-sylvian   yang  terlibat  dalam   kasus   afasia tanpa  defek  repetisi terletak di  daerah  perbatasan  vaskuler (area  water-shed).


Pemeriksaan menamai dan menemukan kata
Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi herbahasa. Hal ini sedikit-banyak terganggu pada semua penderita afasia. Dengan demikian, semua tes yang digunakan untuk menilai afasia mencakup penilaian terhadap kemampuan ini. Kesulitan menemukan kata erat kaitannya dengan kemampuan menyebut nama (menamai) dan hal ini disebut anomia.
Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek, bagian dari objek, bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar geometrik, simbol matematik atau nama suatu tindakan. Dalam hal ini, perlu digunakan aitem yang sering digunakan (misalnya sisir, arloji) dan yang jarang ditemui atau digunakan (misalnya pedang). Banyak penderita afasia yang masih mampu menamai objek yang sering ditemui atau digunakan dengan cepat dan tepat, namun lamban dan tertegun, dengan sirkumlokusi (misalnya, melukiskan kegunaannya) atau parafasia pada objek yang jarang dijumpainya.
Bila pasien tidak mampu atau sulit menamai, ia dapat dibantu dengan memberikan    suku    kata    pemula    atau    dengan    menggunakan    kalimat
penuntun. Misalnya: pisau. Kita dapat membantu dengan suku kata pi  
Atau dengan kalimat: "kita memotong daging dengan    ". Yang penting kita nilai ialah sampainya pasien pada kata yang dibutuhkan, kemampuannya (memberi nama objek). Ada pula pasien yang mengenal objek dan mampu melukiskan kegunaannya (sirkumlokusi) namun tidak dapat menamainya. Misalnya bila ditunjukkan kunci ia mengatakan : "Anu ... itu...untuk masuk rumah...kita putar".
Cara pemeriksaan. Terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh menyebutkan  nama  beberapa  objek juga  warna  dan   bagian  dari   objek tersebut. Kita dapat menilai dengan memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kaca mata,  kemudian  bagian  dari  arloji  (jarum  menit,  detik),  lensa  kaca mata. Objek atau gambar objek berikut dapat digunakan:   Objek yang ada di ruangan: meja, kursi, lampu, pintu, jendela. Bagian dari tubuh:  mata, hidung, gigi, ibu jari, lutut
Warna: merah, biru, hijau, kuning, kelabu.
Bagian dari objek:    jarum jam, lensa kaca mata, sol sepatu, kepala ikat pinggang, bingkai kaca mata.
Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan nama objek dengan cepat atau lamban atau tertegun atau menggunakan sirkumlokusi, parafasia, neologisme dan apakah ada perseverasi. Disamping meng­gunakan objek, dapat pula digunakan gambar objek.
Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, dapatkah ia memilih nama objek tersebut dari antara beberapa nama objek.
Gunakanlah sekitar 20 objek sebelum menentukan bahwa tidak didapatkan gangguan.
Area bahasa di posterior ialah area kortikal yang terutama bertugas memahami bahasa lisan. Area ini biasa disebut area Wernicke; mengenai batasnya belum ada kesepakatan. Area bahasa bagian frontal berfungsi untuk produksi bahasa. Area Brodmann 44 merupakan area Broca.
Penelitian dengan PET (positron emission tomography) tentang meta-bolisme glukosa pada penderita afasia, menyokong spesialisasi regional tugas ini. Namun demikian, pada hampir semua bentuk afasia, tidak tergantung pada jenisnya, didapat pula bukti adanya hipometabolisme di daerah temporal kiri. Penelitian ini memberi kesan bahwa sistem bahasa sangat kompleks secara anatomi-fisiologi, dan bukan merupakan kumpulan dari pusat-pusat kortikal dengan tugas-tugas terbatas atau terpisah-pisah atau sendiri-sendiri.

Pemeriksaan sistem bahasa
Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu diperhatikan bagaimana pasien berbicara spontan, komprehensi (pemahaman), repetisi (mengulang) dan menamai (naming).
Membaca dan menulis harus dinilai pula setelah evaluasi bahasa lisan. Selain itu, perlu pula diperiksa sisi otak mana yang dominan, dengan melihat penggunaan tangan (kidal atau kandal).
Dengan melakukan penilaian yang sistematis biasanya dalam waktu yang singkat dapat diidentifikasi adanya afasia serta jenisnya. Pasien yang afasia selalu agrafia dan sering aleksia, dengan demikian pengetesan membaca dan menulis dapat dipersingkat. Namun demikian, pada pasien yang tidak afasia, pemeriksaan membaca dan menulis harus dilakukan sepenuhnya, karena aleksa atau agrafia atau keduanya dapat terjadi terpisah (tanpa afasia).

Pemeriksaan penggunaan tangan (kidal atau kandal)
Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan mempunyai kaitan yang erat Sebelum menilai bahasa perlu ditentukan sisi otak mana yang dominan, dengan melihat penggunaan tangan. Mula-mula tanyakan kepadn p irsion apakah ia kandal (right handed) atau kidal. Banyak orang kidal telah illnjarkan sejak kecil untuk menulis dengan tangan kanan. Dengan ilcmikian, mengobservasi cara menulis saja tidak cukup untuk menentukan npakah seseorang kandal atau kidal. Suruh pasien memperagakan tangan mana yang digunakannya untuk memegang pisau, melempar bola, dsb.
Tanyakan pula apakah ada juga kecenderungannya menggunakan tangan yang lainnya. Spektrum penggunaan tangan bervariasi dari kandal yang kuat; kanan sedikit lebih kuat dari kiri; kiri sedikit lebih kuat dan kanan dan kidal yang kuat. Ada individu yang kecenderungan kandal dan kidalnya hampir sama (ambi-dextrous)

Pemeriksaan berbicara - spontan
Langkah pertama dalam menilai berbahasa ialah mendengarkan bagaimana pasien berbicara spontan atau bercerita. Dengan mendengnrknn pasien berbicara spontan atau bercerita, kita dapat memperoleh data yang sangat berharga mengenai kemampuan pasien berbahasa. Cara Ini tidak kalah pentingnya dari tes-tes bahasa yang formal.
Kita dapat mengajak pasien berbicara spontan atau berceritera melalui pertanyaan berikut : Coba ceriterakan kenapa anda sampai dirawat di rumah sakit. Coba ceritakan mengenai pekerjaan anda serta hobi anda.
Bila mendengarkan pasien berbicara spontan atau bercerita, perhatikan:
  1. Apakah bicaranya pelo, cadel, tertegun-tegun, disprosodik (irama, ritme,
    intonasi bicara terganggu).   Pada afasia sering ada gangguan ritme dan
    irama (disprosodi).
  2. Apakah   ada   afasia,    kesalahan   sintaks,   salah    menggunakan   kata
    (parafasia,  neologisme), dan perseverasi.  Perseverasi sering dijumpai
    pada afasia.
Parafasia. Parafasia ialah men-substitusi kata. Kita mengenai 2 jenis parafasia, yaitu parafasia semantik (verbal) dan parafasia fonomik (literal). Parafasia semantik ialah mensubstitusi satu kata dengan kata yang lain misalnya: "kucing" dengan "anjing".    Parafasia fonemik, ialah mensubstitusi suatu bunyi dengan bunyi yang lain, misalnya bir dengan kir, balon dengan galon.
Afasia motorik yang berat biasanya mudah dideteksi. Pasien berbicaranya sangat terbatas atau hampir tidak ada; mungkin ia hanya mengucapkan: "ayaa, ayaa, aaai, Hi".
Sesekali ditemukan kasus dimana pasien sangat terbatas kemampuan bicaranya, namun bila ia marah, beremosi tinggi, keluar ucapan makian yang cara mengucapkannya cukup baik.
Afasia ialah kesulitan dalam memahami dan/atau memproduksi bahasa yang disebabkan oleh gangguan (kelainan, penyakit) yang melibatkan hemisfer otak.
Didapatkan berbagai jenis afasia, masing-masing mempunyai pola abnormalitas yang dapat dikenali, bila kita berbincang dengan pasien serta melakukan beberapa tes sederhana.

Pada semua pasien dengan afasia didapatkan juga gangguan membaca dan menulis (aleksia dan agrafia)
Pada afasia semua modalitas berbahasa sedikit-banyak terganggu, yaitu bicara spontan, mengulang (repetisi), namai (naming), pemahaman bahasa, membaca dan menulis.
Pada lesi di frontal, pasien tidak bicara atau sangat sedikit bicara, dan mengalami kesulitan atau memerlukan banyak upaya dalam berbicara. Selain itu gramatikanya miskin (sedikit) dan menyisipkan atau mengimbuh huruf atau bunyi yang salah, serta terdapat perseverasi. Pasien sadar akan kekurangan atau kelemahannya. Pemahaman terhadap bahasa lisan dan tulisan kurang terganggu dibandingkan dengan kemampuan mengemukakan isi pikiran. Menulis sering tidak mungkin atau sangat terganggu, baik motorik menulis maupun isi tulisan.
Pada lesi di temporo-parietal pasien justru bicara terlalu banyak, cara mengucapkan baik dan irama kalimat juga baik, namun didapat gangguan berat pada, mem-formulasi dan menamai sehingga kalimat yang diucapkan tidak mempunyai arti. Bahasa fisan dan tulisan tidak atau kurang difahami, dan menulis secara motorik terpelihara, namun isi tulisan tak menentu. Pasien tidak begitu sadar akan kekurangannya.
Afasia jenis yang disebutkan pertama disebut afasia Broca, atau afasia motorik atau afasia ekspresif. Afasia jenis ke dua disebut jenis Wernicke atau sensorik atau reseptif.

Kadang dijumpai pasien dengan gangguan yang berat pada semua modalitas   bahasa.   Pasien   sama   sekali  tidak   bicara   atau   hanya   bicara sepatah   kata   atau   frasa,   yang   selalu   diulang-ulang,   dengan   artikulasi   (pengucapan) dan irama yang buruk dan tidak bermakna.
Hal ini disebut afasia global. Lesi biasanya melibatkan semua daerah bahasa di sekitar fisura sylvii.
Kadang afasia ditandai oleh kesulitan menemukan nama, sedangkan modalitas lainnya relatif utuh. Pasien mengalami kesulitan menamai sesuatu benda. Pada pasien demikian kita dengar ungkapan seperti : "anu, itu, kau, kau tahu kan, ya anu itu". Afasia amnestik ini sering merupakan sisa afasia yang hampir pulih, pada afasia yang tersebut terdahulu, namun dapat juga dijumpai pada berbagai gangguan otak yang difus. Afasia amnestik mempunyai nilai lokalisasi yang kecil.
Adakalanya digunakan kata afasia campuran. Sebetulnya kata ini kurang tepat, karena di klinik semua jenis afasia adalah campuran, hanya bidang tertentu lebih menonjol atau lebih berat.
Berbagai tes wawabcara, membaca, menulis, menggambar, ataupun melakukan tugas-tugas tertentu bias digunakan untuk mengetahui terjadinya kerusakan otak, dan tinggal dicocokkan dengan pemeriksaan CT-Scan pada otak. Pemeriksaan ini sangat penting untuk terapi dan rehabilitasi pasien.
 
F.     Asuhan Keperawatan
1.      Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan lesi area bicara otak (Afasia)
2.      Kurang pengetahuan  yang berhubungan dengan dasar-dasar terapi rehabilitasi
3.      Harga diri rendah kronik yang berhubungan dengan perubahan penampilan sekunder akibat kehilangan fungsi bicara
4.      Kerusakan interaksi sosial yang berhubungan dengan gangguan bicara atau penurunan fungsi

KERUSAKAN KOMUNIKASI VERBAL
Data :
4  Mayor
Ketidakmampuan untuk mengucapkan kata-kata tetapi dapat mengerti orang lain atau

4  Minor
Napas Pendek

Yang Berhubungan Dengan Iskimea Dari Lobus Temporal Atau Trontal
Kriteria Hasil

Individu akan :
  1. Memperlihatkan kemampuan yang meningkat untuk mengekspresikan diri
  2. Mengungkapkan penurunan frustsi dengan komunikasi

Intervensi
  1. Identifikasi metoda alternatif yang dapat digunakan orang tersebut untuk mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhan dasar.
  2. Jangan ubah ucapan, intonasi, atau jenis pesan Anda, karena pada tingkat orang dewasa
  3. Anjurkan Keluarga untuk membagi perasaan-perasaan mengenai masalah-masalah dalam berkomunikasi
  4. Untuk individu dengan hambatan bahasa
a.       Berkomunikasi tanpa tergesa-gesa, cara yang halus. Sopan dan format
b.      Berbicara dengan suara pelan, sedang,. Dengarkan dengan cermat; validasikan pemahaman mutualisme
c.       Gunaikan gerakan tubuh dan gambar-gambar
d.      Pertahankan agar pesan tetap sederhana; jangan gunakan istilah medis atau teknis
e.       Jika diperlukan interpreter
    • Klarifikasi bahasa apa yang digunakan di rumah
    • Upayakan untuk menggunakan jender dan usia yang sama dengan klien
    • Hindari interpreter dari Negara yang berlawanan, berbeda kebangsaan
    • Mintalah untuk menerjemahkan dengan kata yang tepat.

KURANG PENGETAHUAN
DATA :
4  Mayor
-        Mengungkapkan kurang pengetahuan atau keterampilan-keterampilan/permintaan informasi
-        Mengekspresikan suatu ketidakuratan persepsi status kesehatan melakukan dengan tidak tepat perilaku kesehatan yang dianjurkan atau yang diinginkan

4  Minor
-        Memperlihatkan atau mengekspresikan perubahan psikologi (mis, ansietas, depresi) mengakibatkan informasi atau kurang informasi


INTERVENSI :
Beri tahu tentang penatapelaksanaan terapi/rehabilitasi

HARGA DIRI RENDAH KRONIK
4  Mayor
§  Jangka panjang atau kronik:
§  Pengungkapan diri yang negative
§  Ekspresi rasa bersalah/malu
§  Evaluasi diri karena tidak dapat menangani kejadian
§  Menjauhi rasionalisasi/menolak umpan balik positif dan membesarkan umpan balik negative mengenai diri
§  Ragu untuk mencoba hal-hal/situasi baru

4  Minor
§  Sering kurang berhasil dalam kerja atau kejadian hidup lainnya
§  Penyelesaian diri berlebihan, bergantung pada pendapat orang lain
§  Buruknya penampilan tubuh (Kontak mata, postur, gerakan)
§  Tidak asertif/pasif
§  Keragu-raguan
§  Mencari jaminan secara berlebihan

Yang berhubungan dengan perubahan penampilan sekunder akibat : Kehilangan fungsi tubuh

KRITERIA HASIL
Individu akan :
  1. Memodifikasi harapan diri yang berlebihan dan tidak realistis
  2. Mengungkapkan penerimaan keterbatasan
  3. Mengidentifikasi aspek positif dari diri
Intervensi
  1. Bantu individu untuk mengurangi tahapan ansietas yang ada
  2. Tingkat perasaan individu terhadap diri
a.       Penuh perhatian
b.      Menghargai ruang pribadi individu
c.       Pastikan interpretasi Anda terhadap apa yang dikatakan ataudialami (“Apakah ini yang anda maksud?”)
  1. Tidak membiarkan individu untuk mengisolasi diri

KERUSAKAN INTERAKSI SOSIAL
DATA :
4  Mayor
§  Melaporkan ketidakmampuan untuk menetapkan dan/atau mempertahankan hubungan suportif yang stabil
§  Ketidakpuasan dengan jaringan sosial

4  Minor
§  Isolasi sosial
§  Hubungan superficial
§  Menyalahi orang lain untuk masalah-masalah interpersonal
§  Menghindari orang lain
§  Kesulitan Interpersonal di tempat kerja
§  Orang lain melaporkan tentang pola interaksi yang bermasalah
§  Perasaan teng\tang tidak dimengerti
§  Perasaan tentang penolakan

KRITERIA HASIL
Individu akan :
1.      Menyatakan masalah dengan sosialisasi
2.      Mengidentifikasi perilaku baru untuk meningkatkan sosilaisasi efektif
3.      Melaporkan atau bermain peran terhadap penggunaan perilaku pengganti kontstruktif

Intervensi Generik
  1. Berikan individu hubungan suportif
  2. Bantu untuk mengidentifikasikan bagaimana stress dapat mencetuskan masalah
  3. Dukung pertahanan kesehatan
  4. Bantu untuk mengidentifikasi alternative tindakan
  5. Bantu dalam menganalisa pendekatan yang berfungsi paling baik
  6. Bermain peran situasi bermasalah. Diskusikan perasaan-perasaan

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Proses bicara melibatkan dua stadium utama aktivitas mental: (1) membentuk buah pikiran untuk diekspresikan dan memilih kata-kata yang akan digunakan, kemudian (2) mengatur motorik vokalisasi dan kerja yang nyata dari vokalisasi itu sendiri. Pembentukan buah pikiran dan bahkah pemilihan kata-kata merupakan fungsi area asosiasi sensorik otak. Sekali lagi, area Wemicke pada bagian posterior girus temporalis superior merupakan hal yang paling penting untuk kemampuan ini. Oleh karena itu, penderita yang mengalami afasia Wernicke atau afasia global tak mampu memformulasikan buah pikirannya untuk dikomunikasikan. Atau, bila lesinya tak begitu parah, maka penderita masih mampu memfontiulasikan pikirannya namun tak mampu menyusun kata-kata yang sesuai secara berurutan dan bersama-sama untuk mengekspresikan pikirannya. Seringkali, penderita fasih berkata-kata namun kata-kata yang dikeluarkannya tidak beraturan.
Afasia Motorik Akibat Hilangnya Area Broca. Kadang-kadang, penderita mampu menentukan apa yang ingin dikatakannya, dan mampu bervokalisasi, namun tak dapat mengatur sistem vokalnya untuk menghasilkan kata-kata selain suara ribut. Efek ini, disebut afasia motorik, disebabkan oleh kerusakan pada area bicara Broca, yang terletak di regio prefrontal dan fasial premotorik korteks kira-kira 95 persen kelainannya di hemisfer. Oleh karena itu, pola keterampilan motorik yang dipakai untuk mengatur laring, bibir, mulut, sistem respirasi, dan otot-otot lainnya yang dipakai untuk bicara dimulai dari daerah ini.




DAFTAR PUSTAKA

1.      Snell, Ricard S, Newroanatomi klinik – ed 2, Jakarta : ECG, 1996
2.      Lumlantoling, S.M., Newologi klinik – pemeriksaan fisik dan mental,
Jakarta : Balai penerbit fakultas kedokteran UI, 1998
3.      Boeis, et all, Buku ajar penyakit THT – ed.G, Jakarta : ECG, 1997
4.      Carperito, Lynda J., Buku saku diagnosa keperawatan-ed-8, Jakarta : ECG, 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar